Ben Mafrici bukan siapa-siapa. Hanya seorang karyawan toko pakaian di Australia. Tapi dalam setahun, ia membeli 17 rumah. Ya, tujuh belas! Jumlah yang bagi sebagian orang bahkan sulit dibayangkan.

Cerita Mafrici ramai dibahas media lokal. Banyak yang bertanya-tanya: bagaimana bisa? Jawabannya sederhana: strategi yang tepat.

Ia tidak asal beli rumah. Mafrici fokus pada properti di daerah dengan potensi pertumbuhan tinggi. Ia memilih rumah dengan harga miring, merenovasinya, lalu menyewakan dengan harga bersaing. Pendapatan dari sewa itu yang ia putar lagi untuk membeli properti berikutnya.

Hasilnya? Dalam setahun, sudah 17 rumah yang ia miliki.

Mafrici membuktikan bahwa penghasilan kecil bukan halangan. Asal tahu cara bermainnya, siapa pun bisa menapaki tangga investasi properti. Kuncinya ada di strategi dan keberanian mengambil keputusan.

Kesenjangan yang Menganga

Tapi kisah Mafrici ini juga menimbulkan pertanyaan besar. Tentang kesenjangan ekonomi. Tentang akses ke properti.

Harga rumah di Australia terus naik. Untuk banyak orang, punya satu rumah saja sudah seperti mimpi. Apalagi mereka yang bergaji pas-pasan. Sementara di sisi lain, ada yang bisa membeli 17 rumah dalam setahun.

Ketimpangan ini nyata. Dan inilah yang harus dipikirkan lebih jauh. Bagaimana supaya masyarakat berpenghasilan rendah tetap bisa punya kesempatan yang sama? Bagaimana agar pasar properti tidak hanya menguntungkan segelintir orang?

Mafrici memberi inspirasi. Tapi kisahnya juga jadi cermin: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh sistem ini?

Lalu, Bagaimana di Indonesia?

Beli rumah di Indonesia? Bisa. Tapi harus pintar-pintar.

Harga rumah di kota besar sudah selangit. Tapi peluang selalu ada. Triknya? Jangan menunggu punya uang banyak dulu. Ambil KPR dengan bunga ringan. Pilih rumah di pinggiran kota, yang punya akses transportasi bagus. Cari rumah subsidi jika memungkinkan.

Yang penting: cicilan jangan lebih dari 30% gaji. Kalau bisa, punya pendapatan tambahan untuk membantu bayar cicilan. Jangan tergoda beli rumah terlalu besar, yang akhirnya malah memberatkan.

Satu rumah dulu. Dari sana, baru berpikir investasi lebih lanjut. Asal ada strategi, rumah pertama bisa jadi jalan ke rumah-rumah berikutnya.


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *