
Harga rumah naik. Tapi tidak terlalu naik. Itu kata Bank Indonesia.
Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) triwulan IV 2024 tumbuh 1,39 persen dibanding tahun lalu. Naik, tapi lebih rendah dari triwulan sebelumnya yang 1,46 persen.
Yang menarik, rumah tipe kecil dan menengah justru anjlok. Penjualan rumah kecil turun 23,70 persen. Rumah menengah turun 16,61 persen. Sebaliknya, rumah tipe besar naik 20,44 persen.
Lalu, apa artinya?
Pasar properti sedang lesu pada kuartal IV 2024 lalu. Tapi lesu untuk siapa? Jelas bukan untuk mereka yang beli rumah besar. Penjualan rumah tipe kecil yang turun menunjukkan masyarakat menengah ke bawah makin sulit membeli rumah. Sementara orang-orang dengan daya beli tinggi tetap bisa membeli properti mewah.
Dari Mana Uang untuk Beli Rumah?
Sebagian besar pengembang masih mengandalkan dana sendiri, 74,38 persen. Sisanya dari pinjaman bank (15,18 persen) dan pembayaran konsumen (5,61 persen).
Lalu dari sisi pembeli? Mayoritas masih mengandalkan KPR, sebesar 72,54 persen. Sementara yang bisa beli rumah dengan tunai bertahap hanya 18,74 persen. Yang mampu bayar langsung? Hanya 8,72 persen.
Apa yang Bisa Dipelajari?
Rumah kecil dan menengah makin sulit terbeli. Artinya, daya beli masyarakat bawah belum pulih. Mereka yang punya uang tetap belanja, tapi di kelas properti yang lebih tinggi.
Jadi, kalau masih ada yang bilang harga rumah naik terus, faktanya memang iya. Tapi siapa yang masih bisa beli? Itu pertanyaan yang lebih penting.
Harapan di Triwulan I 2025
Triwulan baru. Harapan baru.
Apakah pasar properti akan pulih? Bisa jadi. Tapi syaratnya jelas: daya beli harus didorong. Caranya? Suku bunga KPR harus lebih bersahabat. Subsidi untuk rumah pertama harus diperkuat.
Selain itu mendorong pertumbuhan ekonomi. Kalau memang daya beli turun, berarti infrastruktur digenjot. Duit bisa muter. Daya beli bisa naik.
Tapi belakangan ada isu efisiensi anggaran sampai-sampai ada demo Indonesia Gelap dan populernya tagar #KaburAjaDulu.
Efisiensi Anggaran dan Dampaknya ke Properti
Efisiensi anggaran pemerintah ini harus menjadi perhatian. Kebijakan ini bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, efisiensi perlu untuk menjaga stabilitas fiskal. Tapi di sisi lain, jika pemotongan anggaran menyentuh sektor perumahan dan infrastruktur, dampaknya bisa berantai.
Subsidi perumahan bisa berkurang. Program bantuan kepemilikan rumah bisa tersendat. Daya beli masyarakat menengah ke bawah makin tertekan. Jika itu terjadi, jangan heran jika pasar properti semakin lesu.
Jadi, efisiensi memang perlu. Tapi harus cermat. Jangan sampai mengorbankan sektor yang justru bisa menggerakkan ekonomi.
0 Komentar