Rupanya, ini bukan sekadar beli dan jual. Tapi beli murah, jual mahal—dengan cara yang tak boleh. RS, Direktur Utama PT Patra Niaga, jadi tersangka. Bukan sendirian. Ada enam orang lainnya.

Modusnya: beli Pertalite (Ron 90), bayar seharga Pertamax (Ron 92), lalu oplos di depo. Hasilnya? Pertamax oplosan yang dijual dengan harga resmi. Kabarnya, negara rugi besar: Rp 193,7 triliun. Itu setara membangun banyak ibu kota baru.

Tak cuma itu. Ada permainan harga di kontrak pengapalan. Biaya shipping dimark-up. Keuntungan lari ke kantong pribadi. Siapa saja yang terlibat? Nama-nama sudah diumumkan Kejaksaan Agung, Selasa, 25 Februari 2025.

Korupsi ini bukan soal uang negara saja. Tapi juga soal harga BBM yang jadi mahal. Subsidi makin bengkak. Beban rakyat bertambah. Uangnya mengalir ke mana? Konon ke mereka yang sekarang jadi tersangka.


Rp 193,7 Triliun Bisa Jadi Apa?

Mari kita berhitung:

  • Bisa membeli 1.166.867 rumah subsidi seharga Rp 166 juta. Itu berarti ada sejuta lebih keluarga yang bisa langsung punya rumah. Tak perlu menunggu puluhan tahun menabung. Tak perlu menyewa rumah petak. Tak perlu bermimpi terus.
  • Bisa mensubsidi uang muka 11.668.674 rumah subsidi. Dengan bantuan ini, hampir 12 juta keluarga bisa punya kesempatan mengambil rumah. Tak ada lagi cerita generasi muda yang batal beli rumah karena uang mukanya terlalu mahal. Sisanya? Bisa dibayarkan dengan skema KPR subsidi—cicilan ringan, tenor panjang, bunga rendah.
  • Bisa mengembangkan 38.740 hektar lahan—setara dengan 387 km², atau hampir tiga kali luas Jakarta Selatan (141 km²). Bayangkan kawasan perumahan sebesar itu, lengkap dengan jalan, air bersih, listrik, sekolah, rumah sakit, dan ruang terbuka hijau. Jika setiap hektar bisa menampung 100 rumah, maka 3.874.000 rumah subsidi bisa dibangun. Hampir 4 juta rumah! Itu cukup untuk menampung seluruh warga Yogyakarta (2,7 juta jiwa)—bahkan lebih.

Backlog Perumahan Bisa Tuntas

Lalu, bagaimana kalau uang ini benar-benar digunakan untuk perumahan rakyat?

Backlog perumahan di Indonesia diperkirakan 7-14 juta unit. Itu berarti ada jutaan keluarga yang masih tinggal di rumah kontrakan, kos-kosan sempit, rumah tak layak huni, atau bahkan masih tinggal bersama mertua.

Dengan uang ini, separuh masalah bisa selesai. Bahkan, mungkin tuntas!

Tak perlu lagi program perumahan yang tersendat karena anggaran kurang. Tak perlu lagi wacana-wacana tak jelas soal penyediaan rumah murah. Semua bisa dieksekusi. Asal uangnya benar-benar untuk rakyat.


Kenyataannya?

Uang itu lenyap. Konon dikorupsi.

Mereka kini menghadapi pasal-pasal berat di UU Tipikor. Proses hukum berjalan. Kita tunggu, bagaimana akhirnya.

Bentar-bentar, kalau 193,7 triliun aja segitu, gimana yang 300 triliun ya?


0 Komentar

Tinggalkan Balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *